Rabu, 07 Maret 2012

Tentang 'Aku yang Manja'

Saat pulang ke rumah, adalah saat yang paling membahagiakan bagiku. Bagaimana tidak? Hampir 2 bulan lamanya aku tidak bertatap muka dengan kedua orang tua. Tentunya ini adalah sebuah penderitaan bagiku. Hehehehe, lebay memang. Tapi apa mau dikata?

Melihat wajah mereka saja sudah membuatku tenang. Apalagi mendapati mereka tengah tersenyum, itu adalah kegembiraan terbesar bagiku. Petuahnya adalah sebuah ‘petunjuk’ dalam kehidupan. Kehangatan kasih dan sayangnya selalu terpancar setiap saat. Jadi, bisa kalian bayangkan betapa menderitanya diriku saat jauh dari mereka?

Well… Mereka adalah sosok yang sangat aku sayang. Mencintaiku sepenuh hati dan segenap jiwa raga. Apa yang kuberikan hari ini, bahkan esok hari, belum tentu bisa menggantikan semua pengorbanannya.
Saat ini, aku hanya bisa belajar dan bekerja dengan giat untuk membuktikan kesungguhan cintaku pada mereka. Lewat karya ini juga aku ingin menyampaikan rasa sayangku. Puisi ini sudah lama kubuat, saat pulang ke rumah di sela-sela kegiatan kantor yang padat.

 Aku yang Manja




Aku yang hidup penuh manja,
Dibesarkan dengan sejuta cinta,
Dibekali dengan harapan sebagai pelita,
Rasanya nyaman, menghabiskan waktu dengan penuh suka cita.

Aku yang hidup penuh manja,
Terbiasa dibuai dengan pujian berjuta,
Dimabuk oleh laku jelita,
Membuatku lambung, merasa teristimewa.

Aku yang hidup penuh manja,
Kini larut dalam bahagia,
Membuat derita menjadi mati rasa,
Dan kuharap, ini kan berlangsung lama,
Bahkan untuk selamanya…

Namun, saat kubuka mata,
Tergambar realita yang menyiksa,
Rupanya, kata dan sikap manis hanya ilusi semata,
Sebagai pelengkap sandiwara,
Sebagai perasa nikmat dalam cerita,
Hingga akhirnya ku tersadar, dalam hidup ada dusta.

Aku yang hidup penuh manja,
Kini hatiku gamang, tak berdaya,
Terajam oleh kata dari putri surga berlidah bisa,
Terbelenggu oleh pangeran berhati buaya,
Dan terdustai oleh penjilat yang mengaku sejiwa seraga.   

Namun, beruntungnya aku yang hidup penuh manja,
Tuhan masih memanja,
Dia tetap membiarkan mereka yang setia,
Senantiasa memberi pelangi dikala aku gembira,
Menuntun dikala aku hilang arah kelana,
Dan menghapus gerimis kala hati gundah gulana.

Mereka tak beranjak meninggalkanku yang hidup penuh manja,
Meski garis tua terukir jelas di wajahnya,
Meski rambut sudah tak legam, termakan usia,
Dan meski rupa tak semolek saat belia,
Tapi…
Kasihnya tak pernah lapuk saat senja,
Tuturannya menghidupkan cahaya asa.

Aku yang hidup penuh manja,
Tak merasa sesal pada mereka,
Tak merasa hina di antara mereka,
Secercah harap senantiasa tiba,
Mengisi hariku penuh cita.

Namun, ketika rapuh mendera mereka,
Hati menggalau, terasa ku tak memiliki kuasa,
Tetapi…
Mengingat kasihnya yang tak kunjung sirna,
Tak kan sebanding dengan pengorbananku yang sederhana,
Untuk berupaya dan menghaturkan doa,
Demi kesejahteraan mereka yang setia.

“Maafkan, aku yang hidup penuh manja”,
Kata sesal terlantun dari aku yang hina,
Berhembus kencang,menggelitik telinga,
Mereka pun terdiam, membisukan dunia.

Kukira, pelita kasih akan berhenti menyala,
Namun, tidak rupanya,
Di hadapanku, tetap nampak kobaran cinta,
Hangatnya masih sama,
Seperti saat aku belum mengenal dusta,
Tak ada suara,
Tapi tatapannya berkata,
“Tak ada derita tanpa akhir,
Bersyukurlah kau yang hidup penuh manja”

Sujud terhatur pada Sang Pencipta,
Kutatap mereka yang setia,
Mereka yang ksatria.

Teruntuk Ayah dan Bunda,
Terima kasih telah menjadikanku anak yang penuh manja…



Warunggunung, 3 September 2011
23. 47 WIB
Debby Sinthya Devi

I love my family :)